Sabtu, 28 November 2009

Sang Zaman

“what holds humanity together today is the denial in what human race has in common”

Sebuah ungkapan deterministik yang menyuarakan tentang perbedaan. Sebuah penegasan yang memutlakkan tentang kehadiran yang “ada” sebagai siklus yang kontradiktoris, berjalan tertatih-tatih dalam perang hegemoni dan subordinasi. Dan dengan ringan disebutkan dengan keyakinan bahwa “itulah kemanusiaan (humanity)”. Suatu hal yang cukup mengejutkan ketika kalimat diatas diucapkan oleh Eric Hobsbawm, seorang sejarawan ulung yang me-redefinisikan tentang kemanusiaan dengan kajian yang rigorus tentang sejarah dalam ceramah-nya yang dimuat dalam jurnal keilmuan Anthropology Today.

Pernah suatu saat, saya membaca sebuah kajian menarik tentang sejarah. Isinya kurang lebih “history did not repeat, only historian repeat each other”. Cukup menarik ketika secara jeli kajian tersebut menghadirkan subyektivitas dalam sesuatu yang dikatakan sebagai obyektif dan secara implisit mempertanyakan ulang mengenai “siapa diri kita?”. Pertanyaan yang membuat rongga-rongga identitas kembali hampa. Bagaimana tidak! kategorisasi identitas selamanya melibatkan sebuah sejarah, dalam arti basis material Marxist (kondisi sosial ekonomi) dan disanalah sebuah subyek, sebuah diri dibentuk lewat sebuah proses seleksi -dimana dalam proses tersebut selalu melibatkan salah dan lupa- dan kategorisasi yang berujung pada indeks-indeks dan label. Sebagai “Jawa”, “Madura”, “Cina”, “Dayak”, “Arab”, “Barat”, dan “Yahudi” dimana label-label tersebut tak pernah lepas dari campur tangan penguasa .

Sejarah disini tidak lagi menjadi teks yang otonom. Sejarah disini telah bergeser secara perlahan menjadi ‘Sejarah ‘( history with a large H).Tidak lagi menjadi suatu obyek, tetapi menjelma menjadi “ego” yang berpikir dan meng-ada, Menjadi cogito. Sejarah tadinya menginginkan sebuah proses aufhebung (dalam pengertian Hegelian) dengan melibatkan komponen-komponen dan struktur yang kompleks yang berujung pada kemanunggalan. Kebersatuan dan persatuan yang pada akhirnya akan mengakhiri sejarah. Tak dapat dinyana sejarah tersebut bergeser menjadi ‘Sejarah’ yang menjadi subyek dan memiliki legitimasi tekstual atas kebenaran yang berujung pada kepentingan-kepentingan penguasa. sejarah tidak akan pernah berakhir karena sejarah telah menjadi subyek dan sebuah ego-instrumental yang reduksialis yang akan terus menghasilkan momen negatif-nya.

Entah sejak kapan dimulai semacam penyakit ketersesatan,yang secara tepat dianalisis oleh Derrida yang dinamainya dengan “logosentrisme” sebuah kegilaan pada makna yang tunggal (disini Derrida meyakini ketiadaan makna yang tunggal karena sifat arbitrer dari makna tersebut) yang berakar pada asumsi a priori pada keajegan makna, kebenaran absolut yang berarah pada penegasan identitas. Forma-forma represif yang menyiratkan tergusur atau penggusuran yang dibumbui dengan label-label kebenaran. Institusi imperatif territorial yang bersifat ekstensif, bisa diperluas ataupun dipersempit. Seperti barat yang mencoba mem”barat”kan asia dan afrika lewat globalisasi. Seperti yang terlihat dalam pertikaian antara “Jawa” dan “Cina” yang membudaya bagai dendam kesumat yang tidak pernah mempunyai penyelesaian, seperti golongan pemuda-pemuda eropa radikal dengan semboyan provokatif, Blut und Bode (darah dan tanah) yang mencoba mengusir semua imigran yang datang di negaranya. Semuanya berawal dari ‘Sejarah’ yang mengikat ‘diri’, ‘tubuh’, dan ‘pikiran’. Sebuah ketersesatan historis.

Hegel dalam bukunya Philosophy of History mengatakan “setiap manusia adalah anak dari zamannya”. Di perkembangan selanjutnya layaknya seorang anak yang belum bisa bicara dan belum sempurna koordinasinya, mulai melihat tubuhnya, mulai melihat refleksinya di cermin yang ada dihadapannya, ia mulai melihat dirinya sebagai ego yang utuh dan terpadu. Kemudian setelah mendapatkan bahasa, dirinya pun dibentuk oleh bahasa, yang tersusun oleh keikutsertaan orang lain. Dimana manusia-manusia yang ada disekitarnya masih terikat dengan ‘Sejarah’ dan ‘Sejarah’ masih mengikat manusia-manusia tersebut. Lahirlah identitas, yang masih menyisakan tanda Tanya, masih menyisakan ilusi. Identitas yang dilahirkan dari melihat yang-Lain tersebut mulai menginstitusi dirinya seperti ego narsistik yang terus melakukan seleksi – yang sekali lagi tak terlepas dari salah dan lupa- dan kategorisasi, mulai membuat klasifikasi dan generalisasi-generalisasi. Tanpa disadarinya ia sudah membuat berhala-berhala metafisik yang mempunyai tendensi melahirkan rasa sakit dari yang-Lain. Tak pelak lagi benarlah Hegel ketika hal tersebut menjadi siklus kontradiktoris thesis-antithesis yang membentuk zaman. Tetapi menjadi hal yang absurd ketika zaman membuat manusia terperangkap di dalamnya.

Utopia yang ada di pikiran saya untuk menyelesaikan dilema ini adalah: melepaskan ‘Sejarah’, membebaskan ‘Sejarah’ dari makna. Bukan berarti tak ada ‘Sejarah’, tetapi lebih pada pembukaan lembaran baru pada manusia dan kemanusiaan, membuka kemungkinan-kemungkinan pada universalitas (tidak hanya universalitas hegemonik Gramsci). Membebaskan subyek dari institusi-institusi tersebut. Menggeser identitas menjadi subyek-dalam proses dimana terletak kesadaran bahwa kesempurnaan itu sendiri adalah sebuah proses bukan hasil akhir, layaknya Sisifus, tokoh dalam mitologi Yunani yang dikutuk untuk selama-lamanya mengulangi tugas yang sia-sia mendorong batu karang ke puncak gunung, namun pada akhirnya batu itu bergulir jatuh kembali. Sebuah usaha tak mengenal akhir untuk mengeluarkan manusia dari perangkap zaman.....

Menjadi Sang Zaman……

0 komentar:

Posting Komentar