Selasa, 29 Desember 2009

Amor Fati

Surga, sesuatu yang ada di antara kontradiksi dan ambivalensi, dihujat sekaligus dirindukan. Sebuah representasi, sebuah das sein dan das sollen dari idealitas suatu tatanan yang seringkali menjadi gambaran dari keindahan, kebahagiaan, dan kesenangan yang abadi. Di satu sisi keberadaan 'gambaran' tentang surga menghasilkan pemberontakan metafisik yang menentang segala bentuk kehampaan; dekadensi yang mengancam dan ditakutkan akan meracuni akal dan kehendak manusia. Tetapi di sisi lain keberadaan surga juga menjadi perwujudan harapan akan sebuah idealitas transendental. Harapan akan suatu masa ketika aman dan tertib merupakan nilai yang diunggulkan - tidak hanya dalam kehidupan sosial tetapi juga dalam segi pemikiran dan keyakinan - , di masa ketika banyak manusia ingin berlindung di balik otoritas negara (yang oleh Nietzsche disebut sebagai 'monster paling dingin'), atau di bawah iman dan ilmu pengetahuan.

Dunia, tempat manusia meng'ada' yang tak pernah lepas dari dimensi ruang dan waktu. Jauh dari sebuah ideal-absolut dan terlepas dari kisi-kisi imortalitas menuju ke sebuah temporalitas yang absurd. Berjalan di antara spiral-spiral keberulangan yang (menurut Nietzsche) tak menghasilkan kebaruan apapun. Suatu kefanaan yang dihujat, suatu rangkaian-rangkaian peristiwa-peristiwa yang pada akhirnya hanya mengusung ketiadaan, suatu yang dianggap profan tetapi sekaligus mengasyikkan dan melenakan dengan segala kenikmatannya. Tetapi melampaui semua itu terdapat mimpi dan harapan, cita-cita yang sakral akan idealitas, dan maison de 'l etre yang dirindukan sebagai existenzia manusia yang hidup di dalamnya. Manusia yang hidup di dunia tetapi merindukan surga.

Surga dan dunia menjadi konsep yang sangat-amat berbeda, seperti oposisi biner yang tidak akan pernah mempunyai titik temu. Akibatnya Manusia (sebagai makhluk yang meng-ada) pun kini telah berada dalam sebuah paradoks; layaknya tikus yang berada dalam kungkungan maze rumit tanpa jalan keluar, bingung, kebingungan. Mereka kesulitan untuk mencari jawaban atas segala ketidak-adilan, absurditas dan ketidakpastian. Hingga akhirnya yang dirasakan hanyalah kehampaan. Penghujatan pada dunia yang fana. Segala kecacatan (impurity and imperfection) yang berawal dari ketidakmampuan untuk melihat sesuatu secara holistik. Hanya melihat dengan sebelah mata tanpa menyadari bahwa ketidak-pastian itu sendiri adalah sebuah kemungkinan, kehampaan itu sendiri adalah awal sebuah proses kesempurnaan, dan Perbedaan adalah divergensi yang memberikan warna.

Sebuah perbedaan memang melahirkan identitas, sebuah identitas memang menegaskan tentang eksistensi. Maka identitas-eksistensial manusia di muka bumi adalah untuk mencintai nasibnya, berjuang di masa sekarang untuk sebuah idealitas, berjuang untuk masa depan yang lebih baik, untuk membangun 'menara babel' bukan sebagai tangga menuju surga, tetapi untuk membawa surga itu ke dunia.

Read Full Post

Kamis, 24 Desember 2009

Alienasi

Shroud your heaven, Zeus,
With cloudy vapours,
And do as you will, like the boy
That beheads thistles,
With oak-trees and mountain-tops;
You must my Earth
Now abandon to me,
And my hut, which you did not build,
And my hearth,
Whose glow
You begrudge me.

I know of nothing poorer
Under the sun, than you, Gods!
You are barely nourished
By sacrificial offerings
And prayerful exhalations
Your Majesty
And would starve, were
Not children and beggars
Hopeful fools.

When I was a child,
And did not know the in or out,
I turned my wandering eyes toward
The sun, as if beyond it there were
An ear to hear my lament,
A heart like mine,
To take pity on the afflicted.

Who helped me
Against the Titans' mischief?
Who delivered me from Death,
From Slavery?
Did you not accomplish it all yourself,
Holy, burning Heart?
And glowed, young and good,
Deceived, your thanks for salvation
To the sleeping one above?

I should honour you? For what?
Have you softened the sufferings,
Ever, of the burdened?
Have you stilled the tears,
Ever, of the anguished?
Was I not forged as a Man
By almighty Time
And the eternal Fate,
My masters and yours?

Do you somehow imagine
I should hate life,
Flee to the desert,
Because not every
Flowering dream may bloom?

Here I sit, forming people
In my image;
A race, to be like me,
To suffer, to weep,
To enjoy and delight themselves,
And to mock yours –
Like Me!

Prometheus-Johann Wolfgang von Goethe


Sebuah ungkapan ketidakpuasan, kekecewaan yang mengarah pada penolakan terhadap supremasi dan divinitas kekuatan imperatif digambarkan dengan lugas pada karakter Prometheus, dimana –dengan jenialitasnya- Goethe mampu merepresentrasikan kombinasi antara pemberontakan, pengorbanan dan keberanian dalam aforisma ini. Aforisma yang berisikan serangkaian simbol ‘ruh’ yang kecewa, ‘ruh’ yang tidak ingin melarikan diri dari kenyataan hidup dan pengingkaran untuk merefleksikan ketidakmampuannya pada Sang Maha. Manifestasi kehendak yang berawal dari sebuah pilihan, antara Ya dan Tidak. Sebuah penolakan terhadap kekuasaan yang mereduksi kekuatan-kekuatan kreatif manusia (yang kelak menjadi simbol ilmu pengetahuan), sebuah penolakan terhadap alienasi.

Alienasi sendiri adalah perasaan keterasingan yang dihasilkan oleh obyektifikasi dan reifikasi atas suatu kuasa eksternal yang berada di luar individu. Analisis kritis Feuerbach dan Marx telah memperlihatkan tendensi alienatif dari agama, Frantz Fanon telah memperlihatkan tendensi alienatif dari perbedaan identitas rasial. Tetapi apakah alienasi hanya berhenti sampai pada masalah agama dan identitas saja?. Dalam diskursus ini yang ingin saya bahas bukanlah supremasi dan divinitas Tuhan alam semesta, tetapi bentuk-bentuk ‘tuhan alienatif’ lain yang mewujud dalam tatanan sosio-kultur dan direpresentasikan dalam forma-forma institusi individual dan kolektif yang mempunyai status quo. Sebuah ideologi yang menjadi bersifat reduktif karena melupakan unsur dinamis manusia dan kemanusiaan di dalamnya. Sebuah konstruksi masyarakat represif yang menegasikan kemungkinan-kemungkinan koeksistensi berbagai macam perbedaan di dalamnya. Bentuk-bentuk despotisme dan absolutisme baru yang berawal dari paradigma terinstitusi yang melahirkan perasaan keterasingan dari “sang-subyek” yang dialami baik secara sadar maupun yang terakumulasi ke dalam alam bawah sadar. Sebuah sistem monoperspektif dan monodimensional yang merampat-papankan perbedaan- meleburkan subyek dalam singularitas- .

Tenggelam dan terhanyut, saya rasa cocok untuk menggambarkan kondisi kontemporer dari masyarakat modern (modern society) dengan model-model gaya hidup yang mereka kejar dari setiap peluh keringat yang mereka keluarkan dalam sebuah paradigma kerja ekonomistik. Sebuah paradigma yang menekankan pada karakter rasionalitas dan irasionalitasnya, di dalamnya yang ada hanyalah produktivitas dan efisiensi, ia mempunyai kapasitas untuk mengubah kesia-sian menjadi kebutuhan, dan mengubah destruksi menjadi konstruksi, sampai tingkat dimana hal tersebut mentransformasikan dunia obyek menjadi suatu eksistensi dari pemikiran manusia, tubuh, dan terinternalisasi ke 'diri' (self sense) sebagai ego.

Tentu saja sampai disini masih tersirat asumsi bahwa dalam hidup manusia ada kebutuhan yang 'sejati' dan ada kebutuhan yang 'palsu'. Kebutuhan yang 'palsu' lebih didefinisikan sebagai kebutuhan yang timbul karena represi atau kepentingan-kepentingan eksternal diluar diri individu. Tendensi-tendensi tersebut mengarah pada alienasi manusia pada sesuatu yang sejati karena akumulasi dari "transplantasi sosial" akibat paradigma ekonomistik yang tanpa disadari diperkuat oleh titik kemapanan (establishment) individual - yang dipaksakan lewat manipulasi publik oleh para industrialis- sehingga pada perkembangan selanjutnya menjelma menjadi semacam arus kehidupan modern (modern lifestream). Pada perkembangan selanjutnya arus kehidupan modern tersebut berevolusi menjadi pedoman hidup yang harus ditaati oleh manusia modern. Secara sarkastik saya lebih menyebut hal tersebut sebagai "modus pengontrolan modern" dengan tendensi alienatif-nya. Ironisnya modus-modus pengontrolan tersebut tidak hanya berada pada sistem yang otoritarian tetapi juga tumbuh subur pada sistem non-otoritarian.

Modus-modus pengontrolan modern tersebut berlanjut pada tingkat yang lebih tinggi ketika masyarakat - sebagai konsumen yang berdaulat - tidak lagi mempunyai fungsi kritis kontemplatif dalam kehidupan sehari-hari mereka. Mereka terjebak dalam sirkulasi komoditas dan merasa nyaman dengan manipulasi. Akibatnya kebutuhan-kebutuhan transplantatif tersebut menjadi bagian integral dalam kehidupan mereka atau bahkan menjadi identitas mereka sehingga hal tersebut akan mementahkan asumsi awal yang menyebutkan tentang kebutuhan ‘sejati’ dan ‘palsu’. Batasan antara yang ‘sejati’ dan yang ‘palsu’ akan menjadi kabur bahkan tidak bisa dibedakan sama sekali. Fenomena ini terlihat pada manusia yang menemukan eksistensinya pada obyek seakan-akan obyek tersebut memiliki jiwa (anima) dan kuasa eksternal atas dirinya. Seperti manusia yang menemukan eksistensinya pada perangkat hi-fi milknya, menemukan eksistensinya pada mobil mewahnya, menemukan eksistensinya pada perangkat komunikasi yang ia miliki dan pada wujudnya yang paling general manusia menemukan eksistensinya pada mode-mode hidup yang dibebankan -secara tidak sadar- kepadanya. Bukankah hal tersebut hampir serupa dengan animisme dan dinamisme yang dianut masyarakat primitif.

Sedemikian kuat pengaruh dari modus-modus pengontrolan tersebut sampai-sampai tatanan sosio-kultur yang ada akan tenggelam dalam singularitas yang menyesakkan. Perbedaan kelas dan strata sosial tidak menghalangi orang-orang yang berada di strata sosial bawah untuk berlaku borjuis layaknya orang-orang pada strata sosial menengah ke atas. Dan perlu digaris bawahi hal tersebut sama sekali tidak mengindikasikan ketiadaan kelas sosial. Hal tersebutpun juga sama sekali tidak mengindikasikan pemerataan kesejahteraan. Bagi saya hal tersebut malah mengindikasikan sedemikian represif dan alienatifnya tatanan sosio-kultur yang ada. Maka tidaklah mengherankan ketika individu-individu menghindari alienasi kultural dengan meniru, seakan-akan mereka adalah bagian dari masyarakat modern ketika mereka telah berhasil memenuhi prakondisi yang dibebankan kepada mereka. Ketika gejala-gejala mimesis dan contagion telah demikian mempengaruhi individu-individu, sehingga menimbulkan rasa nyaman dari sebuah relasi otoritatif, sebuah cengkraman represi yang tak kasat mata. Bila Hobbes mengasumsikan manusia adalah makhluk berkesadaran yang memiliki kehendak bebas atas dirinya, maka hal tersebut kini sudah tak berlaku lagi. Kebebasan selalu menyiratkan pilihan dimana sebuah pilihan selalu ada dan disadari bahwa memang ada pilihan. Namun bukanlah menjadi pilihan ketika ‘tubuh’ , ‘diri’ dan ‘pikiran’ telah ditentukan oleh modus-modus pengontrolan modern. Ketika orang yang tidak mengikuti mainstream dianggap sebagai yang-Lain dan terpisah dari masyarakat pada umumnya.

Akibat yang paling mencengangkan adalah ketika 'masyarakat modern' justru semakin memisahkan diri dari kehidupan sosial, mengingkari realitas obyektif yang sebenarnya terpampang di depan mata mereka. Mereka terpenjara oleh kepentingan-kepentingan pribadi untuk memenuhi prakondisi-prakondisi 'modern'. terpenjara oleh relasi ekonomistik sehingga lambat laun malah mengasingkan diri dari tujuan kehidupannya dan tidak berniat untuk berkontribusi pada masyarakat. Ia menutup mata dengan tirai modernitas atas ketidak-adilan yang ada di hadapan mereka. mereka mengira bahwa setiap ketidak-adilan, setiap represi institusi individual-kolektif adalah suatu hal yang natural dimana tidak ada kemungkinan-kemungkinan lain ada disana. Sungguh ironis, ketika kemajuan teknologis dan efisiensi di sektor manufaktur dan jasa di satu sisi diperlukan, tetapi di sisi lain justru menyimpan krisis yang sangat mendasar; Krisis eksistensial.

Dalam menghadapi problematika ini, Goethe –lewat aforisma Prometheus- telah menjawabnya. Untuk mengalahkan alienasi dibutuhkan pengorbanan dan keberanian yang berawal dari sebuah kekecewaan. Keberanian untuk memberontak, untuk membebaskan pemikiran dan membukanya seluas-luasnya. Keberanian untuk melakukan kritik, dan akhirnya sebuah keberanian untuk mempertanyakan kembali sendi-sendi kesadaran. Pertanyaan yang sangat mendasar...

“Untuk apa saya hidup?”

Read Full Post

Sabtu, 28 November 2009

Sang Zaman

“what holds humanity together today is the denial in what human race has in common”

Sebuah ungkapan deterministik yang menyuarakan tentang perbedaan. Sebuah penegasan yang memutlakkan tentang kehadiran yang “ada” sebagai siklus yang kontradiktoris, berjalan tertatih-tatih dalam perang hegemoni dan subordinasi. Dan dengan ringan disebutkan dengan keyakinan bahwa “itulah kemanusiaan (humanity)”. Suatu hal yang cukup mengejutkan ketika kalimat diatas diucapkan oleh Eric Hobsbawm, seorang sejarawan ulung yang me-redefinisikan tentang kemanusiaan dengan kajian yang rigorus tentang sejarah dalam ceramah-nya yang dimuat dalam jurnal keilmuan Anthropology Today.

Pernah suatu saat, saya membaca sebuah kajian menarik tentang sejarah. Isinya kurang lebih “history did not repeat, only historian repeat each other”. Cukup menarik ketika secara jeli kajian tersebut menghadirkan subyektivitas dalam sesuatu yang dikatakan sebagai obyektif dan secara implisit mempertanyakan ulang mengenai “siapa diri kita?”. Pertanyaan yang membuat rongga-rongga identitas kembali hampa. Bagaimana tidak! kategorisasi identitas selamanya melibatkan sebuah sejarah, dalam arti basis material Marxist (kondisi sosial ekonomi) dan disanalah sebuah subyek, sebuah diri dibentuk lewat sebuah proses seleksi -dimana dalam proses tersebut selalu melibatkan salah dan lupa- dan kategorisasi yang berujung pada indeks-indeks dan label. Sebagai “Jawa”, “Madura”, “Cina”, “Dayak”, “Arab”, “Barat”, dan “Yahudi” dimana label-label tersebut tak pernah lepas dari campur tangan penguasa .

Sejarah disini tidak lagi menjadi teks yang otonom. Sejarah disini telah bergeser secara perlahan menjadi ‘Sejarah ‘( history with a large H).Tidak lagi menjadi suatu obyek, tetapi menjelma menjadi “ego” yang berpikir dan meng-ada, Menjadi cogito. Sejarah tadinya menginginkan sebuah proses aufhebung (dalam pengertian Hegelian) dengan melibatkan komponen-komponen dan struktur yang kompleks yang berujung pada kemanunggalan. Kebersatuan dan persatuan yang pada akhirnya akan mengakhiri sejarah. Tak dapat dinyana sejarah tersebut bergeser menjadi ‘Sejarah’ yang menjadi subyek dan memiliki legitimasi tekstual atas kebenaran yang berujung pada kepentingan-kepentingan penguasa. sejarah tidak akan pernah berakhir karena sejarah telah menjadi subyek dan sebuah ego-instrumental yang reduksialis yang akan terus menghasilkan momen negatif-nya.

Entah sejak kapan dimulai semacam penyakit ketersesatan,yang secara tepat dianalisis oleh Derrida yang dinamainya dengan “logosentrisme” sebuah kegilaan pada makna yang tunggal (disini Derrida meyakini ketiadaan makna yang tunggal karena sifat arbitrer dari makna tersebut) yang berakar pada asumsi a priori pada keajegan makna, kebenaran absolut yang berarah pada penegasan identitas. Forma-forma represif yang menyiratkan tergusur atau penggusuran yang dibumbui dengan label-label kebenaran. Institusi imperatif territorial yang bersifat ekstensif, bisa diperluas ataupun dipersempit. Seperti barat yang mencoba mem”barat”kan asia dan afrika lewat globalisasi. Seperti yang terlihat dalam pertikaian antara “Jawa” dan “Cina” yang membudaya bagai dendam kesumat yang tidak pernah mempunyai penyelesaian, seperti golongan pemuda-pemuda eropa radikal dengan semboyan provokatif, Blut und Bode (darah dan tanah) yang mencoba mengusir semua imigran yang datang di negaranya. Semuanya berawal dari ‘Sejarah’ yang mengikat ‘diri’, ‘tubuh’, dan ‘pikiran’. Sebuah ketersesatan historis.

Hegel dalam bukunya Philosophy of History mengatakan “setiap manusia adalah anak dari zamannya”. Di perkembangan selanjutnya layaknya seorang anak yang belum bisa bicara dan belum sempurna koordinasinya, mulai melihat tubuhnya, mulai melihat refleksinya di cermin yang ada dihadapannya, ia mulai melihat dirinya sebagai ego yang utuh dan terpadu. Kemudian setelah mendapatkan bahasa, dirinya pun dibentuk oleh bahasa, yang tersusun oleh keikutsertaan orang lain. Dimana manusia-manusia yang ada disekitarnya masih terikat dengan ‘Sejarah’ dan ‘Sejarah’ masih mengikat manusia-manusia tersebut. Lahirlah identitas, yang masih menyisakan tanda Tanya, masih menyisakan ilusi. Identitas yang dilahirkan dari melihat yang-Lain tersebut mulai menginstitusi dirinya seperti ego narsistik yang terus melakukan seleksi – yang sekali lagi tak terlepas dari salah dan lupa- dan kategorisasi, mulai membuat klasifikasi dan generalisasi-generalisasi. Tanpa disadarinya ia sudah membuat berhala-berhala metafisik yang mempunyai tendensi melahirkan rasa sakit dari yang-Lain. Tak pelak lagi benarlah Hegel ketika hal tersebut menjadi siklus kontradiktoris thesis-antithesis yang membentuk zaman. Tetapi menjadi hal yang absurd ketika zaman membuat manusia terperangkap di dalamnya.

Utopia yang ada di pikiran saya untuk menyelesaikan dilema ini adalah: melepaskan ‘Sejarah’, membebaskan ‘Sejarah’ dari makna. Bukan berarti tak ada ‘Sejarah’, tetapi lebih pada pembukaan lembaran baru pada manusia dan kemanusiaan, membuka kemungkinan-kemungkinan pada universalitas (tidak hanya universalitas hegemonik Gramsci). Membebaskan subyek dari institusi-institusi tersebut. Menggeser identitas menjadi subyek-dalam proses dimana terletak kesadaran bahwa kesempurnaan itu sendiri adalah sebuah proses bukan hasil akhir, layaknya Sisifus, tokoh dalam mitologi Yunani yang dikutuk untuk selama-lamanya mengulangi tugas yang sia-sia mendorong batu karang ke puncak gunung, namun pada akhirnya batu itu bergulir jatuh kembali. Sebuah usaha tak mengenal akhir untuk mengeluarkan manusia dari perangkap zaman.....

Menjadi Sang Zaman……

Read Full Post

Kamis, 26 November 2009

Pembebasan

Salah satu pertanyaan terbesar di dimensi ruang dan waktu yang didiami oleh umat manusia adalah identitas. Sebuah problema dilematis yang melahirkan pertanyaan: siapa kamu?, siapa aku, di matamu?

representasi topeng selalu menyiratkan asumsi bahwa manusia tersebut memiliki wajah yang asali dan bersifat ‘jati’ sebagai perlambang identitas esensial (the unique being) yang sering disebut sebagai jati diri.

Pertanyaannya, apakah manusia memang memiliki wajah? Ataukah ia memang tidak memiliki wajah sehingga –tidak bisa tidak- akan selalu mengenakan topeng..
Mengenakan topeng atau tidak bukan menjadi permasalahan yang urgent.. yang menjadi permasalahan adalah ketika topeng tersebut dikenakan terlalu erat.. menempel kuat…membuat sesak dan sulit bernafas, tapi di sisi lain mempesonakan, sehingga menjadi (seperti yang anda katakan ) berhala ilusif yang merampas kesejatian dan cenderung merampat papankan perbedaan dalam identitas.
Menjadi institusi-institusi imperatif territorial yang tak kasat mata..

Disinilah letak perlunya pembebasan dari hal-hal yang menginstitusi dirinya…

Disinilah –meminjam istilah Adorno- obyek sebagai non-identitas berperan..

bukan untuk menghancurkan topeng dan berhala.. tetapi sebagai penyeimbang momen sirkular keberulangan abadi, yang walaupun absurd tetap harus diterima sebagai konsekuensi dari hidup itu sendiri..

sebagai obyek yang melonggarkan topeng agar tak lagi menjadi berhala….

Read Full Post

Selasa, 10 November 2009

Pencarian

Ku telah mencari

Di dasar langit

Di atas bumi

Di gelap yang hingar bingar laksana mimpi

Di terang yang melenakan fantasi


Ku coba pahami

Makna yang tersembunyi

Di hari yang sepi

Di kesunyian yang merengkuh urat nadi


Takkan bosan ku pelajari

Serpihan cinta bagai bunga api

Pengejawantahan bahagia yang sejati


Sebuah manifestasi riil an sich

Bukan hanya emosi maupun afeksi


Resah bukannya tanpa arah!!

Galau bukannya tak merindu!!

Getir dan darah yang berdesir

Meratapi setitik arti

Bahagia dalam hati…


Umpatku pada ilusi indrawi

Yang mencerabut akar-akar eksistensi

Yang membutakan nurani

Dengan rayuan materi


Iriku pada sepasang merpati

Yang datang dan pergi

Seakan semua jelas dan pasti

Tak ada keadilan nisbi


Imaji-ku melayang tak kembali

Di tengah ekstase mimpi yang membuai

Tentang esensi dan hakiki

Bahagia dalam hati…

Read Full Post
<<