Kamis, 24 Desember 2009

Alienasi

Shroud your heaven, Zeus,
With cloudy vapours,
And do as you will, like the boy
That beheads thistles,
With oak-trees and mountain-tops;
You must my Earth
Now abandon to me,
And my hut, which you did not build,
And my hearth,
Whose glow
You begrudge me.

I know of nothing poorer
Under the sun, than you, Gods!
You are barely nourished
By sacrificial offerings
And prayerful exhalations
Your Majesty
And would starve, were
Not children and beggars
Hopeful fools.

When I was a child,
And did not know the in or out,
I turned my wandering eyes toward
The sun, as if beyond it there were
An ear to hear my lament,
A heart like mine,
To take pity on the afflicted.

Who helped me
Against the Titans' mischief?
Who delivered me from Death,
From Slavery?
Did you not accomplish it all yourself,
Holy, burning Heart?
And glowed, young and good,
Deceived, your thanks for salvation
To the sleeping one above?

I should honour you? For what?
Have you softened the sufferings,
Ever, of the burdened?
Have you stilled the tears,
Ever, of the anguished?
Was I not forged as a Man
By almighty Time
And the eternal Fate,
My masters and yours?

Do you somehow imagine
I should hate life,
Flee to the desert,
Because not every
Flowering dream may bloom?

Here I sit, forming people
In my image;
A race, to be like me,
To suffer, to weep,
To enjoy and delight themselves,
And to mock yours –
Like Me!

Prometheus-Johann Wolfgang von Goethe


Sebuah ungkapan ketidakpuasan, kekecewaan yang mengarah pada penolakan terhadap supremasi dan divinitas kekuatan imperatif digambarkan dengan lugas pada karakter Prometheus, dimana –dengan jenialitasnya- Goethe mampu merepresentrasikan kombinasi antara pemberontakan, pengorbanan dan keberanian dalam aforisma ini. Aforisma yang berisikan serangkaian simbol ‘ruh’ yang kecewa, ‘ruh’ yang tidak ingin melarikan diri dari kenyataan hidup dan pengingkaran untuk merefleksikan ketidakmampuannya pada Sang Maha. Manifestasi kehendak yang berawal dari sebuah pilihan, antara Ya dan Tidak. Sebuah penolakan terhadap kekuasaan yang mereduksi kekuatan-kekuatan kreatif manusia (yang kelak menjadi simbol ilmu pengetahuan), sebuah penolakan terhadap alienasi.

Alienasi sendiri adalah perasaan keterasingan yang dihasilkan oleh obyektifikasi dan reifikasi atas suatu kuasa eksternal yang berada di luar individu. Analisis kritis Feuerbach dan Marx telah memperlihatkan tendensi alienatif dari agama, Frantz Fanon telah memperlihatkan tendensi alienatif dari perbedaan identitas rasial. Tetapi apakah alienasi hanya berhenti sampai pada masalah agama dan identitas saja?. Dalam diskursus ini yang ingin saya bahas bukanlah supremasi dan divinitas Tuhan alam semesta, tetapi bentuk-bentuk ‘tuhan alienatif’ lain yang mewujud dalam tatanan sosio-kultur dan direpresentasikan dalam forma-forma institusi individual dan kolektif yang mempunyai status quo. Sebuah ideologi yang menjadi bersifat reduktif karena melupakan unsur dinamis manusia dan kemanusiaan di dalamnya. Sebuah konstruksi masyarakat represif yang menegasikan kemungkinan-kemungkinan koeksistensi berbagai macam perbedaan di dalamnya. Bentuk-bentuk despotisme dan absolutisme baru yang berawal dari paradigma terinstitusi yang melahirkan perasaan keterasingan dari “sang-subyek” yang dialami baik secara sadar maupun yang terakumulasi ke dalam alam bawah sadar. Sebuah sistem monoperspektif dan monodimensional yang merampat-papankan perbedaan- meleburkan subyek dalam singularitas- .

Tenggelam dan terhanyut, saya rasa cocok untuk menggambarkan kondisi kontemporer dari masyarakat modern (modern society) dengan model-model gaya hidup yang mereka kejar dari setiap peluh keringat yang mereka keluarkan dalam sebuah paradigma kerja ekonomistik. Sebuah paradigma yang menekankan pada karakter rasionalitas dan irasionalitasnya, di dalamnya yang ada hanyalah produktivitas dan efisiensi, ia mempunyai kapasitas untuk mengubah kesia-sian menjadi kebutuhan, dan mengubah destruksi menjadi konstruksi, sampai tingkat dimana hal tersebut mentransformasikan dunia obyek menjadi suatu eksistensi dari pemikiran manusia, tubuh, dan terinternalisasi ke 'diri' (self sense) sebagai ego.

Tentu saja sampai disini masih tersirat asumsi bahwa dalam hidup manusia ada kebutuhan yang 'sejati' dan ada kebutuhan yang 'palsu'. Kebutuhan yang 'palsu' lebih didefinisikan sebagai kebutuhan yang timbul karena represi atau kepentingan-kepentingan eksternal diluar diri individu. Tendensi-tendensi tersebut mengarah pada alienasi manusia pada sesuatu yang sejati karena akumulasi dari "transplantasi sosial" akibat paradigma ekonomistik yang tanpa disadari diperkuat oleh titik kemapanan (establishment) individual - yang dipaksakan lewat manipulasi publik oleh para industrialis- sehingga pada perkembangan selanjutnya menjelma menjadi semacam arus kehidupan modern (modern lifestream). Pada perkembangan selanjutnya arus kehidupan modern tersebut berevolusi menjadi pedoman hidup yang harus ditaati oleh manusia modern. Secara sarkastik saya lebih menyebut hal tersebut sebagai "modus pengontrolan modern" dengan tendensi alienatif-nya. Ironisnya modus-modus pengontrolan tersebut tidak hanya berada pada sistem yang otoritarian tetapi juga tumbuh subur pada sistem non-otoritarian.

Modus-modus pengontrolan modern tersebut berlanjut pada tingkat yang lebih tinggi ketika masyarakat - sebagai konsumen yang berdaulat - tidak lagi mempunyai fungsi kritis kontemplatif dalam kehidupan sehari-hari mereka. Mereka terjebak dalam sirkulasi komoditas dan merasa nyaman dengan manipulasi. Akibatnya kebutuhan-kebutuhan transplantatif tersebut menjadi bagian integral dalam kehidupan mereka atau bahkan menjadi identitas mereka sehingga hal tersebut akan mementahkan asumsi awal yang menyebutkan tentang kebutuhan ‘sejati’ dan ‘palsu’. Batasan antara yang ‘sejati’ dan yang ‘palsu’ akan menjadi kabur bahkan tidak bisa dibedakan sama sekali. Fenomena ini terlihat pada manusia yang menemukan eksistensinya pada obyek seakan-akan obyek tersebut memiliki jiwa (anima) dan kuasa eksternal atas dirinya. Seperti manusia yang menemukan eksistensinya pada perangkat hi-fi milknya, menemukan eksistensinya pada mobil mewahnya, menemukan eksistensinya pada perangkat komunikasi yang ia miliki dan pada wujudnya yang paling general manusia menemukan eksistensinya pada mode-mode hidup yang dibebankan -secara tidak sadar- kepadanya. Bukankah hal tersebut hampir serupa dengan animisme dan dinamisme yang dianut masyarakat primitif.

Sedemikian kuat pengaruh dari modus-modus pengontrolan tersebut sampai-sampai tatanan sosio-kultur yang ada akan tenggelam dalam singularitas yang menyesakkan. Perbedaan kelas dan strata sosial tidak menghalangi orang-orang yang berada di strata sosial bawah untuk berlaku borjuis layaknya orang-orang pada strata sosial menengah ke atas. Dan perlu digaris bawahi hal tersebut sama sekali tidak mengindikasikan ketiadaan kelas sosial. Hal tersebutpun juga sama sekali tidak mengindikasikan pemerataan kesejahteraan. Bagi saya hal tersebut malah mengindikasikan sedemikian represif dan alienatifnya tatanan sosio-kultur yang ada. Maka tidaklah mengherankan ketika individu-individu menghindari alienasi kultural dengan meniru, seakan-akan mereka adalah bagian dari masyarakat modern ketika mereka telah berhasil memenuhi prakondisi yang dibebankan kepada mereka. Ketika gejala-gejala mimesis dan contagion telah demikian mempengaruhi individu-individu, sehingga menimbulkan rasa nyaman dari sebuah relasi otoritatif, sebuah cengkraman represi yang tak kasat mata. Bila Hobbes mengasumsikan manusia adalah makhluk berkesadaran yang memiliki kehendak bebas atas dirinya, maka hal tersebut kini sudah tak berlaku lagi. Kebebasan selalu menyiratkan pilihan dimana sebuah pilihan selalu ada dan disadari bahwa memang ada pilihan. Namun bukanlah menjadi pilihan ketika ‘tubuh’ , ‘diri’ dan ‘pikiran’ telah ditentukan oleh modus-modus pengontrolan modern. Ketika orang yang tidak mengikuti mainstream dianggap sebagai yang-Lain dan terpisah dari masyarakat pada umumnya.

Akibat yang paling mencengangkan adalah ketika 'masyarakat modern' justru semakin memisahkan diri dari kehidupan sosial, mengingkari realitas obyektif yang sebenarnya terpampang di depan mata mereka. Mereka terpenjara oleh kepentingan-kepentingan pribadi untuk memenuhi prakondisi-prakondisi 'modern'. terpenjara oleh relasi ekonomistik sehingga lambat laun malah mengasingkan diri dari tujuan kehidupannya dan tidak berniat untuk berkontribusi pada masyarakat. Ia menutup mata dengan tirai modernitas atas ketidak-adilan yang ada di hadapan mereka. mereka mengira bahwa setiap ketidak-adilan, setiap represi institusi individual-kolektif adalah suatu hal yang natural dimana tidak ada kemungkinan-kemungkinan lain ada disana. Sungguh ironis, ketika kemajuan teknologis dan efisiensi di sektor manufaktur dan jasa di satu sisi diperlukan, tetapi di sisi lain justru menyimpan krisis yang sangat mendasar; Krisis eksistensial.

Dalam menghadapi problematika ini, Goethe –lewat aforisma Prometheus- telah menjawabnya. Untuk mengalahkan alienasi dibutuhkan pengorbanan dan keberanian yang berawal dari sebuah kekecewaan. Keberanian untuk memberontak, untuk membebaskan pemikiran dan membukanya seluas-luasnya. Keberanian untuk melakukan kritik, dan akhirnya sebuah keberanian untuk mempertanyakan kembali sendi-sendi kesadaran. Pertanyaan yang sangat mendasar...

“Untuk apa saya hidup?”

0 komentar:

Posting Komentar