Minggu, 14 Maret 2010

Hak dan Moralitas (Bagian I)

“None are more hopelessly enslaved than those who falsely believe they are free”


~Johann Wolfgang von Goethe~


Freedom (kebebasan), Sebuah rangkaian kualitas yang seolah-olah berada di dirinya sendiri, mempesonakan dan menyibakkan tirai-tirai kesementaraan di dirinya sendiri. Sebuah penanda yang tidak akan lepas dari konteks ke-apa-an dari manusia yang hidup dan mengada. Sebuah terminologi yang akan terus menjadi pertanyaan dan dipertanyakan oleh manusia dalam keberlangsungannya di dimensi ruang dan waktu yang seolah-olah tak berbatas . Ketika berbicara tentang dimensi ruang dan waktu tentu hal tersebut tidak pernah terlepas dari konsekuensi obyektif dari kontinuitasnya; sejarah, dengan segala atribut yang ada di dalamnya. Melihat perkembangan sejarah, tampaknya benar-benar terjadi suatu representamen semangat zaman (Zeitgeist) yang merujuk pada perkembangan terminologi kebebasan itu sendiri. Suatu semangat yang memicu berbagai jenis pemberontakan, baik yang dipandang dalam segi materialisme sejarah dan determinisme ekonomi maupun ontologisme metafisik yang tergambar dalam citraan tentang hakikat eksistensial manusia dan semua fenomenon yang melingkupinya . Tentang 'rasio' dan 'kebenaran' yang menjadi proyek besar bagi pencerahan dan pembebasan.


Hegel melihat perkembangan sejarah adalah perkembangan rasio – sebuah idea absolut yang mencukupi dirinya sendiri dalam pertentangan-pertentangan – yang melampaui universalitas. Sebuah perkembangan diatas peleburan perlawanan, sebuah aliran falsafi yang berujung pada makna tentang “kemenjadian”, melampaui semangat-semangat zaman, yang sebelumnya menjadi kerangka acuan dalam memahami manusia dan kualitas-kualitas instrinsiknya yang dipandang (seakan-akan) telah ada sebelumnya (pre-existed). Termasuk disana ada kebebasan, dengan manifestasinya yang mutakhir; Hak dan Moralitas. Tak pelak lagi moralitas pun dikonsepsikan sebagai otonomi batin dimana kesetiaan pada suara hati adalah dimensi utamanya (lebih berorientasi dengan konteks struktur sosial dimana ia mengada), sedangkan hak dikonsepsikan sebagai otonomi kreatif setiap individu dalam hidupnya (lebih berhubungan dengan individualitas).


Abad-abad yang didominasi oleh rasio nyatanya tidak lepas dari menjamurnya permasalahan-permasalahan yang melingkupi perwujudan kongkrit Hak dan Moralitas. Seakan-akan keduanya adalah konsepsi yang berbeda, layaknya sebuah dualitas yang timbul dalam perbedaan, pertentangan, dan perlawanan yang saling merasuki. Agaknya apa yang terlihat dari perjuangan orang-orang berkulit hitam di Afrika Selatan dalam klaimnya tentang hak-haknya yang dicurangi lewat suatu moralitas rasialis, polemik Salman Rushdie dan Taslima Nasrin yang hak bicaranya (dalam konteks sebuah keraguan epistemik) dipotong oleh suatu moralitas teologis, dan radikalisme para pemuda neo-Nazi yang terus-menerus melantangkan semboyan "blut und bode" sebagai penanda ketidak-hadiran the-Other (imigran non-aryan) dalam suatu lingkup moralitas fasis cukup mewakili problema yang dihasilkan oleh konstruk-konstruk suprarasional (rasionalitas yang menjadi transenden). Ketika moral telah menjadi 'senjata' dan hak telah 'begitu dimutlakkan' pada waktunya menguak selubung cela yang selama ini disembunyikan. Setiap cela yang pada lanjutannya akan melahirkan keraguan. Keraguan berkepanjangan yang bukan untuk mencapai kesimpulan akan kebenaran suatu konsepsi, tetapi lebih pada upaya untuk meluangkan waktu dan membuka mata dalam melihat betapa absurd dan musykilnya manifesto kebebasan (Hak dan Moralitas) itu sendiri.


Musykilnya suatu konsepsi agaknya menyiratkan hadirnya keterbatasan dan pembatasan. Pembatasan dan keterbatasan tersebut pada waktunya memunculkan kegeraman dan aroma-aroma pemberontakan untuk ditabuhkan pada konsep-konsep universal yang dianggap telah usang untuk kemudian digantikan, digeser atau digusur. Era post-modern pun dianggap cukup mewakili kegeraman dan semangat skeptistik ini. Dengan leluasa para pemikir post-modern menjungkirbalikkan konstruk-konstruk suprarasional dengan memperlihatkan selubung hegemoni yang ada disana. Derrida dengan semangat dekonstruksi-nya, Foucault dengan Arkeologi dan Genealoginya, Gilles Deleuze dan Felix Guattari dengan anti-Oedipalizationnya, Lacan dengan psikoanalisis-strukturalisnya dan Baudrillard dengan hiperrealitasnya. era ini benar-benar telah memperkaya konsep-konsep manusia dan kemanusiaan untuk kemudian mengkonsepsikan kualitas apa yang terkandung di dalamnya.


Namun seiring dengan berjalannya waktu tampaknya hal itu juga berlaku pada konsep-konsep non-universal mengenai hak dan moralitas pada akhir era keraguan ini. Dimana terlihat jelas fasa akhir dari kekaburan era post-modern ini. Kekaburan yang meragukan semua konsepsi 'ajeg' tentang manusia dan semua hakikat yang terkandung di dalamnya. Meragukan setiap metanarasi dialektis dan menganggap aliran dialektika tersebut hanyalah berakhir pada suatu diskontinuitas yang tak terjembatani, atau dengan kata lain tidak pernah melahirkan sintesis yang menjadi pijakan pelampauan bagi era sesudahnya. Meragukan setiap kehendak akan sebuah totalitas dimana era ini melihatnya sebagai jaring-jaring kekuasaan yang tak kasat mata. Bahkan bisa dikatakan secara ekstrim era ini cenderung melihat manusia tidak lebih dari sekedar produk informasi yang bergerak melalui konstruksi sistem libidinal yang tidak akan (pernah) terpuaskan. Lalu pertanyaannya: Apakah di akhir fasa post-modern ini pertanyaan mengenai Kebebasan dan manifestonya itu sendiri telah terjawab?


Dan paradoks yang menyakitkan pun mengikuti... mengenai 'yang tidak bebas' dan 'yang bebas'....


"Bagaimana sebuah pembebasan dimungkinkan ketika konsep kebebasan dan segala manifesto-nya adalah proyek yang masih belum selesai?"





1 komentar:

pakdhe-febri mengatakan...

dalam kerangka ilmu fisika terdapat dua cabang yang cukup lumayan baik menggambarkan kondisi diatas :
1. Fisika teori
2. Fisika terapan
(konsensus) kebebasan adalah fisika teori, sementara pembebasan adalah fisika terapan-nya.

-selamat belajar fisika-

Posting Komentar